Kesatupaduan: Feminisme dan Kesusastraan Jepang
Berbicara mengenai kesusastraan Jepang atau sastra Jepang, tentunya kita familiar dengan penulis Haruki Murakami, salah satu sastrawan Jepang yang sudah berkarya lebih dari 10 tahun lamanya. Karya beliau yang begitu melegenda, menyayat luka, dan membuat pembacanya ikut terbawa suasana menjadi salah satu poin tambahan dari karyanya. Ciri khasnya yang selalu mendeskripsikan kehidupan seksual manusia dengan gamblang di dalam karyanya pun menjadi salah satu alasan mengapa karyanya begitu banyak diminati selain karena alur ceritanya yang menawan.
Sejarah mengenai kesusastraan Jepang itu sendiri teruntai panjang jauh sebelum Restorasi Meiji. Begitupun dengan gerakan kesetaraan gender di Jepang yang menjadi sebuah inspirasi bagi para sastrawan untuk memberi feminis sedikit “panggung” dalam karyanya. Bagaikan sebuah utopia bagi para perempuan yang tidak mendapatkannya di dunia nyata.
Kesetaraan gender atau yang biasa dikenal sebagai feminisme, umumnya diasumsikan sebagai konsep universal, yang dapat diterapkan dengan cara tertentu pada lapisan masyarakat. Namun, istilah feminisme itu sendiri dan kesetaraan yang dituntutnya sangat dipengaruhi dan ditentukan oleh lingkungan budaya dan sosial politik di mana aktivisme feminis berlangsung.
Diketahui, gerakan feminisme di Jepang sendiri mulai mengeluarkan taringnya pada era Tokugawa (Zenit, 2019). Para perempuan meminta hak-hak mereka untuk lepas dari belenggu patriarki yang mewajibkan mereka untuk tetap berada di dalam ruang lingkup inferior dan jauh dari publik. Seperti tidak boleh bekerja, tidak boleh membantah suami dan keluarga suami, dan hanya bekerja sebagai seorang ibu yang bijaksana dan istri yang baik (ryousai kenbo).
Kekuasaan dan wewenang laki-laki dilihat dari hierarki yang ada di dalam keluarga, dan harus didukung serta dipatuhi oleh seluruh anggota, khususnya anggota keluarga yang berjenis kelamin perempuan. Kedudukan perempuan di dalam keluarga berada di bawah ayahnya, suaminya dan ayah mertuanya, hal ini memperlihatkan bagaimana sistem hierarki berbasis kepada gender pada Era Edo didefinisikan (Ariefa, 2020).
Pada awalnya perempuan tidak diwajibkan untuk sekolah dan hanya dapat belajar melalui perkataan turun temurun yang diajarkan oleh sang Ibu. Lambat laun, perempuan akhirnya diperbolehkan untuk mendapat pendidikan namun dibatasi dan hanya boleh memperoleh pendidikan yang bersifat feminin seperti pelajaran merajut, pelajaran ekonomi rumah tangga, atau berbagai keterampilan yang bersifat keperempuanan lainnya. Selain itu, perempuan juga diwajibkan untuk menjunjung tinggi martabat keluarga dengan tindak tutur yang dilakukan oleh perempuan. Pendidikan perempuan terfokus pada pelatihan peran domestik, hal ini bertujuan untuk menciptakan perempuan yang melayani bangsa sebagai ibu yang bijaksana dan istri yang baik.
Pemerintah memberikan kesempatan kepada perempuan untuk dapat merasakan pendidikan agar ‘manut’ terhadap hukum adat yang berlaku dan bagaimana perempuan menjadi istri yang baik serta penurut kepada suami dan keluarga suami. Namun, para perempuan-perempuan cerdas ini mulai menyadari bahwa dirinya tidak dapat bebas mengekspresikan keinginannya dan mulai membuat gebrakan.
Gebrakan ini dimulai di Era Taisho (1912–1926), pada saat Jepang terlibat dengan Perang Dunia ke-I. Negara menyadari bahwa peran gender merupakan bentuk esensial untuk pembangunan bangsa dan ekonomi, sehingga mewajibkan perempuan di Jepang untuk menempuh pendidikan wajib enam tahun. Hal ini dianggap penting bagi negara karena perempuan sebagai calon ibu rumah tangga yang memegang kunci pendidikan dan kesehatan anak-anak mereka. Sehingga, kualitas anak-anak tergantung daripada pendidikan yang diperoleh ibunya. Melalui lajur pendidikan wajib enam tahun itu pula lah, akhirnya muncul sebuah tren di mana perempuan berani mengeluarkan suara dan pendapat mengenai keadaan mereka serta mengambil sikap dalam memperjuangkan nasibnya.
Dengan pembentukan Seitousha (Blue Stocking Society) pada tahun 1912 oleh sekelompok perempuan borjuis yang berpendidikan tinggi dan dipimpin oleh Hiratsuka Raichou, muncul lah majalah Seitou. Hal ini memberi perempuan sebuah media untuk mengekspresikan diri secara mandiri, sembari memulai wacana publik tentang kewanitaan dan identitas perempuan. Seitou adalah majalah pertama yang melanggar tabu sosial tentang tema seksualitas perempuan di depan umum. Hal ini memungkinkan karena lingkungan sosial dan politik yang lebih liberal dan pluralistik di Era Taishou.
Tercatat bahwa pada tahun 1920-an para penggiat kesetaraan gender di Jepang mulai mengubah energi mereka ke arah aktivisme politik melalui organisasi-organisasi perempuan untuk kesetaraan gender dan hak-hak politik. Ditambah lagi gerakan ini mendapatkan dorongan dari perluasan kontemporer hak pilih untuk perempuan di negara-negara Barat yang juga tengah memperjuangkan hal serupa (Ariefa, 2020).
Sejak saat itu, aktivis kesetaraan gender atau yang biasa kita sebut sebagai feminis mulai mengeluarkan suaranya di Jepang. Literatur-literatur Jepang pun lambat laun mulai melihat feminisme sebagai sebuah hal yang baru dan segar dalam dunia literasi Jepang. Dan beberapa penulis perempuan mulai ikut berkontribusi. Dimulai dari majalah sastra perempuan oleh Hiratsuka Raichou sampai dengan buku Natsumonogatari oleh Kawakami Mieko di zaman ini.
Satu hal yang perlu kita ketahui mengenai patriarki di Jepang dalam dunia literasi adalah; karya sastra perempuan sangat kurang diapresiasi dan menjadi bukti bahwa stereotip masyarakat Jepang terhadap perempuan yang cerdas dan terbuka dalam berpikir merupakan salah satu bentuk ketidakpatuhan terhadap budaya yang sudah dianut sekian tahun lamanya. Padahal faktanya, novel lengkap pertama Jepang, “The Tale of Genji” atau “Genji Monogatari” ditulis oleh seorang perempuan, Murasaki Shikibu.
Akan tetapi, hal tersebut dapat dimaklumi karena status dan kedudukan Murasaki Shikibu pada saat itu adalah seorang putri bangsawan. Yang umum diketahui bahwa sudah sepatutnya seorang bangsawan menerima pendidikan dan mengetahui bagaimana cara membaca dan menulis pada zaman itu. Sementara kebanyakan perempuan yang memperjuangkan hak-hak kesetaraan gender adalah perempuan yang tidak menerima privilleges atau hak istimewa seperti Murasaki Shikibu. (Ini hanya asumsi saya saja, apabila terdapat jurnal atau literasi yang lebih kredibel untuk menjelaskan bagian ini, mohon beri tahu saya).
Lalu kesatupaduan apa yang dimaksud judul?
Dalam hal ini, karya sastra mengangkat berbagai macam unsur kehidupan manusia sehari-hari di dalam ceritanya. Termasuk feminisme itu sendiri. Sehingga menimbulkan suatu kesatupaduan antara sebuah karya sastra dengan feminisme. Kesatupaduan dalam karya sastra menurut Nurgiyantoro (1995) adalah keterkaitan makna dan unsur yang ditampilkan dalam karya sastra seperti peristiwa fungsional, kaitan dan acuan yang mengandung konflik atau sebuah pengalaman kehidupan yang berusaha untuk dikomunikasikan. Singkatnya, terdapat benang merah yang menghubungkan berbagai aspek cerita sehingga isi seluruhnya dapat terasa sebagai kesatuan yang utuh dan terpadu.
Karena karya sastra merupakan suatu gambaran kehidupan manusia, imajinasi pengarang yang berkaitan dengan pola atau tingkah laku manusia, maka ini ada kaitannya dengan hadirnya feminisme di dalam suatu karya sastra. Digambarkan dengan berbagai macam upaya atau peristiwa sehingga menunjukkan perempuan dapat mampu bertahan dan keluar dari zona inferiornya selama ini.
Banyak sekali novel-novel di Jepang khususnya yang sudah mulai mengangkat tema feminisme. Seperti contohnya adalah 「コンビニ人間 」atau “The Convience Store Woman” karya Sayaka Murata. 「乳と卵」 atau “Breast and Eggs” karya Kawakami Mieko. 「キチン」atau “Kitchen” karya Yoshimoto Banana.
Beberapa contoh novel di atas dapat dijadikan sebuah referensi membaca bagi yang menyukai karya sastra dari Jepang dengan tema feminisme. Selain menambah koleksi buku juga memberi sudut pandang tertentu mengenai arti feminisme di negara yang tingkat patriarkinya tinggi ini.
—
63817019 - Arum Martian Puspasari
Program Studi Sastra Jepang
Fakultas Sastra
Universitas Komputer Indonesia
—
Referensi:
- Ariefa, N.A. 2020. Peran Perempuan Jepang dalam Perspektif Gender. Universitas Al Azhar Indonesia.
- Nurgiyantoro, Burhan. 1995. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
- Zenit, A.R. 2019. Karakterisasi Tokoh-Tokoh Perempuan Dalam Anime Sakurasou No Pet Na Kanojo (Kajian Feminisme). Universitas Komputer Indonesia.